LGBT, sebuah kelainan psikologi yang dianggap normal?
Pada tahun 2017, Kemenkes mengeluarkan sebuah buku pedoman kesehatan jiwa yang salah satu topiknya membahas mengenai homoseksualitas atau LGBT (Lesbian, Gay Bisexual, Transgender) dan mengkategorikannya sebagai sebuah kelainan psikologis.. Pernyataan tersebut sangat bertentangan dengan pernyataan dari APA (American Psychological Association) yang sejak tahun 1987 menghapuskan homoseksualitas dari DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder), sebuah buku pedoman mengenai gangguan jiwa yang mereka publikasikan. Mengapa bisa terjadi perbedaan pendapat mengenai kejiwaan seseorang yang LGBT?
Amerika Serikat dan LGBT
Sebelumnya, pada tahun 1970-an, perdebatan tersebut sempat menjadi diskusi hangat antara psikiater dunia. APA menjadi salah satu asosiasi yang memperdebatkan masalah tersebut. Pada tahun 1973, para psikiater yang tergabung dalam APA akhirnya memutuskan bahwa homoseksualitas bukan merupakan penyakit kejiwaan melalui voting yagn mereka lakukan. Voting dilakukan setelah selama berbulan bulan para psikiater tidak menemui titik terang dalam diskusi mereka. Sejak saat itu, kaum LGBT mulai gempar memperjuangkan hak hak mereka untuk dapat setara dengan orang orang lainnya. Pada akhirnya, mahkamah agung Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis pada tahun 2015.
Sebagai sebuah negara yang sangat menghargai freedom of speech, tindakan yang diambil oleh Amerika Serikat tidaklah mengagetkan. Pada undang undang konstitusi Amerika Serikat, kebebasan berpendapat dan berekspresi sudah diatur sejak amandemen pertama. Alasan tersebutlah yang menjadi fondasi bagi para pejuang pendukung LGBT dalam memperjuangkan hak haknya. Selain itu, konservatisme masyarakatnya yang mulai luntur juga menjadi faktor pendukung mengapa pelegalan tersebut dapat terjadi.
Konservatisme berlebihan atau nalar?
Di Indonesia, LGBT sendiri masih dianggap sebagai sebuah kelainan psikologis. Hal tersebut didukung oleh seorang neuropsikolog di Universitas Al Azhar Indonesia, Ihsan Gumilar. Beliau beranggapan bahwa penyimpangan orientasi seksual tersebut merupakan sebuah penyakit mental yang diakibatkan oleh kejadian yang pernah dialami oleh penderita. Lebih lanjut lagi, beliau mengatakan bahwa dihapuskannya homoseksualitas dari DSM tidak valid karena dilakukan dengan melalui voting.
Jika melihat latar belakang budaya Indonesia, maka tidak heran jika banyak masyarakat yang mendukung penggolongan LGBT dalam gangguan jiwa yang perlu disembuhkan. Keputusan tersebut akan berjalan beriringan dengan konstitusi negara Indonesia yang berlandaskan pada Ketuhanan. Selain itu, masyarakat Indonesia yang didominasi oleh masyarakat yang konservatif juga menjadi alasan mengapa penggolongan yang berpotensi menjadi polemik tersebut tidak memicu reaksi khalayak ramai.
Jika ditarik kesimpulan, sebagai studi yang mempelajari kejiwaan manusia, psikologi sebenarnya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan di daerah tersebut sehingga perbedaan pemikiran pasti akan terjadi. Sebagai seseorang yang bukan ahli di bidangnya, kita harus belajar untuk menghormati pilihan orang lain selama pilihan tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat sekitar.
Comments
Post a Comment